Monday, May 2, 2016

CERPEN 2

KEREMUKAN HATI YANG BERUJUNG

“HAHAHAHAHAHAHA.”
Tawaku lepas. Jiwa ini bebas. Tapi, pikiranku kosong. Hatiku pun bolong. Tangisku menggelegar, marahku hancurkan semua barang yang kulihat, lukai semua orang yang kutemui. Makian semua orang bagaikan lelucon, membuatku tertawa membahana. Mereka lucu, mereka bodoh.
Aku dimana? Aku siapa? Lucu, bodoh. Ternyata aku juga sama seperti mereka, tak sadar sedang dimana, berperan sebagai apa. Yang kutahu, sebenarnya tak ada yang aku tahu. Hanya saja yang kulihat, aku berada di tempat luas tak terbatas, lingkaran tak berujung. Seseorang memberitahuku, ini Dunia. Tempat nista macam apa ini? Tak ada lagi yang bisa memberitahu.
Siang itu, aku berjalan di pusat keramaian lalu duduk di bahu jalan. Banyak orang berlalu lalang, mereka melihatku jijik. Tak sedikit dari mereka melihatku lirih lalu menyimpan uang recehan di depanku. Aku lemparkan kembali uang tak berharga itu ke arah mereka. Dasar bodoh, beraninya menganggapku sehina itu. Aku bukan pengemis yang mengais uang receh di jalanan. Uangku melimpah, rumah mereka pun tak cukup menampungnya. Biar ku adukan saja mereka pada suamiku.
Aku tertawa cekikikan melihat mereka lari mendengar amarahku. Tapi setelah itu, tetes air mataku jatuh. Tawaku sirna. Tangisku menjadi. Semua orang mengerumuniku dilengkapi tatapan iba. Tiba-tiba seorang lelaki berpostur tegap berseragam polisi membubarkan kerumunan dan mengajakku pergi. Awalnya kutolak ajakan sok baik itu, tapi akhirnya aku setuju ikut dengannya saat ia bilang suamiku sedang menunggu.
Aku heran. Kenapa lelaki itu bisa kenal dengan suamiku? Dia bilang, suamiku sedang menungguku. Benarkah itu? Ah sudahlah, kuputuskan untuk tidak memikirkan hal ini. Aku bingung. Dia membawaku masuk ke dalam sebuah ruangan sekat berukuran 10 x 15 meter, lalu menyuruhku duduk di kursi yang berjejeran dekat pintu. “Tunggu di sini!” ia pergi meninggalkanku sendiri.
Di tempat itu kulihat banyak lelaki berseragam polisi sibuk dengan urusannya masing-masing tanpa menghiraukan keberadaanku. Sepuluh menit menunggu, lelaki yang membawaku kembali dengan membawa sebungkus nasi lengkap dengan lauk dan teh hangat. Tak ada tanda-tanda keberadaan suamiku di tempat ini. Dasar penipu! Lelaki bajingan! Ternyata setelah kupikir-pikir, aku ingat dia adalah lelaki yang sejak SMA menyukaiku dan mengharapkan aku menjadi istrinya. Dasar bodoh! Sekarang aku sudah menikah. Beraninya dia menipu dengan modus akan mempertemukanku dengan suamiku. Biar kuadukan saja dia pada suamiku.
Aku lemparkan nasi bungkus yang sedang ia buka, kearahnya. Teh hangat yang sedang ia pegang ku buang ke bajunya. Hal itu membuat bajunya kotor dan basah. Nasi pun berserakan di lantai. Semua orang yang melihat merasa geram namun hanya bisa diam. Aku berlari ke luar meninggalkan kekacauan yang kubuat.Lelaki itu berusaha mengejarku tanpa memperdulikan rasa sakit di tangannya, akibat dari teh hangat yang ku tumpahkan. Ia gagal. Aku berhasil kabur.
Sesampainya dirumah, aku berkaca di depan cermin. Aku penasaran, seberapa cantikkah aku ini sampai-sampai semua orang yang kutemui dijalan terpesona dengan terus melihat kearahku. Ku pandangi sekujur tubuhku dari ujung kaki sampai ujung kepala.  Kukerutkan dahi. Dengan tangan kiri kugaruk kepalaku. Kurasakan rambutku bak sapu ijuk usang, bentuknya bergelombang keriting menjulur ke segala arah, dibalut dengan kudung dan gaun pengantin putih yang kini warnanya tak lagi putih karena tak pernah ku ganti semenjak sebulan yang lalu saat aku menikah dengan suamiku.
Ku ambil sisir di dekat cermin untuk merapihkan rambutku. Sebentar lagi suamiku pulang. Aku harus tampak cantik di depannya. Ku goreskan lipstik merah di bibirku yang menghitam. Ku semprotkan minyak wangi pemberiannya sebulan lalu. Setelah itu, aku ke dapur mencari sesuatu yang bisa ku masak agar bisa ku suguhkan padanya. Sialnya yang kutemukan hanya beberapa bungkus mie instan. Tapi aku tak peduli, suamiku pernah berkata, apapun yang ku masak rasanya pasti enak.
Semua persiapan penyambutan kedatangan suamiku sudah selesai. Waktu menunjukan pukul 3 sore. Aku menunggu suamiku di meja makan, sampai aku tertidur. Aku terbangun saat sadar ruangan ini gelap. Ah mungkin suamiku sudah datang dan sengaja mematikan lampu ingin memberiku kejutan. Ku nyalakan lampu dan tertegun melihat tak ada seorangpun di ruangan ini kecuali aku dan bayangan bodohku. Kulihat jam menunjukan pukul sembilan malam. Aku kembali duduk, menunggu, lalu tertidur.
Paginya aku terbangun karena mendengar seseorang mengetuk pintu rumah. Aku sangat antusias dan yakin bahwa kali ini suamiku pasti telah sampai. Dengan senyum sumbringah aku berlari membuka pintu. Saat kubuka, senyumku sirna berganti tatapan marah. Aku terkejut melihat si lelaki modus penipu itu berdiri di depan pintu, tapi kini tak memakai seragam polisi.
Aku berlari kedalam mengambil pisau lalu kutodongkan ke arahnya. Aku marah, teriak dan menyuruhnya segera pergi dari rumahku. Dia mencoba menenangkanku dengan tetap menjaga jarak seakan takut akan tertusuk pisau yang kupegang. satu kalimat darinya yang membuatku tak mampu lagi berkutik “ Sadarlah rin, suamimu sudah tak lagi didunia kita. ia takkan pernah kembali. Suamimu sudah tenang di alamnya.”
Aku diam. Tubuhku lunglai. Pisau yang kupegang terjatuh kelantai, bersamaan dengan tubuhku yang tak mampu ku topang. Kakiku lemas. Aku bangun, berlari keluar dan teriak tak percaya, tak kupedulikan meski diluar hujan deras. Aku berlari sejauh yang kubisa, akan kucari suamiku meski sampai keujung dunia. Jika ia tak bisa kembali ke duniaku, biar aku saja yang pergi ke dunianya. Jika ia takkan bisa menemuiku lagi, biar aku yang menyusulnya sesegera mungkin.
Aku berlari sejauh mungkin dan sampai dijembatan kota. Aku berniat akan membuang hidupku dan menemui hidupku yang lain. Aku takut bahkan hanya dengan melihat kebawah jembatan yang di isi sungai deras dan batu besar. Tapi aku lebih takut membayangkan hidupku yang akan kujalani tanpa suamiku. Tiba-tiba si lelaki modus itu teriak dibelakangku. Tubuhku lemas lalu jatuh dipangkuannya. Ia memelukku erat dan berusaha menghentikan tangisku.
Kami menangis ditengah hujan, rerintik jadi saksi cinta yang baru dalam keremukan hati yang mendalam. Kini sebulan sudah aku merajut bahtera dengan lelaki modus itu, ia membelikan baju yang pantas, ku kenakan dan aku berdandan yang cantik , secantik kehidupanku saat ini.