Tawaku
lepas. Jiwa ini bebas. Tapi, pikiranku kosong. Hatiku pun bolong. Tangisku
menggelegar, marahku hancurkan semua barang yang kulihat, lukai semua orang
yang kutemui. Makian semua orang bagaikan lelucon, membuatku tertawa membahana.
Mereka lucu, mereka bodoh.
Aku dimana? Aku siapa? Lucu, bodoh. Ternyata aku
juga sama seperti mereka, tak sadar sedang dimana, berperan sebagai apa. Yang
kutahu, sebenarnya tak ada yang aku tahu. Hanya saja yang kulihat, aku berada
di tempat luas tak terbatas, lingkaran tak berujung. Seseorang memberitahuku,
ini Dunia. Tempat nista macam apa ini? Tak ada lagi yang bisa memberitahu.
Siang itu, aku berjalan di pusat keramaian lalu
duduk di bahu jalan. Banyak orang berlalu lalang, mereka melihatku jijik. Tak
sedikit dari mereka melihatku lirih lalu menyimpan uang recehan di depanku. Aku
lemparkan kembali uang tak berharga itu ke arah mereka. Dasar bodoh, beraninya
menganggapku sehina itu. Aku bukan pengemis yang mengais uang receh di jalanan.
Uangku melimpah, rumah mereka pun tak cukup menampungnya. Biar ku adukan saja
mereka pada suamiku.
Aku tertawa cekikikan melihat mereka lari mendengar
amarahku. Tapi setelah itu, tetes air mataku jatuh. Tawaku sirna. Tangisku
menjadi. Semua orang mengerumuniku dilengkapi tatapan iba. Tiba-tiba seorang
lelaki berpostur tegap berseragam polisi membubarkan kerumunan dan mengajakku
pergi. Awalnya kutolak ajakan sok baik itu, tapi akhirnya aku setuju ikut
dengannya saat ia bilang suamiku sedang menunggu.
Aku heran. Kenapa lelaki itu bisa kenal dengan
suamiku? Dia bilang, suamiku sedang menungguku. Benarkah itu? Ah sudahlah,
kuputuskan untuk tidak memikirkan hal ini. Aku bingung. Dia membawaku masuk ke
dalam sebuah ruangan sekat berukuran 10 x 15 meter, lalu menyuruhku duduk di
kursi yang berjejeran dekat pintu. “Tunggu di sini!” ia pergi meninggalkanku
sendiri.
Di tempat itu kulihat banyak lelaki berseragam
polisi sibuk dengan urusannya masing-masing tanpa menghiraukan keberadaanku. Sepuluh
menit menunggu, lelaki yang membawaku kembali dengan membawa sebungkus nasi
lengkap dengan lauk dan teh hangat. Tak ada tanda-tanda keberadaan suamiku di tempat
ini. Dasar penipu! Lelaki bajingan! Ternyata setelah kupikir-pikir, aku ingat
dia adalah lelaki yang sejak SMA menyukaiku dan mengharapkan aku menjadi
istrinya. Dasar bodoh! Sekarang aku sudah menikah. Beraninya dia menipu dengan
modus akan mempertemukanku dengan suamiku. Biar kuadukan saja dia pada suamiku.
Aku lemparkan nasi bungkus yang sedang ia buka,
kearahnya. Teh hangat yang sedang ia pegang ku buang ke bajunya. Hal itu
membuat bajunya kotor dan basah. Nasi pun berserakan di lantai. Semua orang
yang melihat merasa geram namun hanya bisa diam. Aku berlari ke luar
meninggalkan kekacauan yang kubuat.Lelaki itu berusaha mengejarku tanpa
memperdulikan rasa sakit di tangannya, akibat dari teh hangat yang ku
tumpahkan. Ia gagal. Aku berhasil kabur.
Sesampainya dirumah, aku berkaca di depan cermin.
Aku penasaran, seberapa cantikkah aku ini sampai-sampai semua orang yang
kutemui dijalan terpesona dengan terus melihat kearahku. Ku pandangi sekujur
tubuhku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Kukerutkan dahi. Dengan tangan kiri kugaruk kepalaku. Kurasakan rambutku
bak sapu ijuk usang, bentuknya bergelombang keriting menjulur ke segala arah,
dibalut dengan kudung dan gaun pengantin putih yang kini warnanya tak lagi
putih karena tak pernah ku ganti semenjak sebulan yang lalu saat aku menikah
dengan suamiku.
Ku ambil sisir di dekat cermin untuk merapihkan
rambutku. Sebentar lagi suamiku pulang. Aku harus tampak cantik di depannya. Ku
goreskan lipstik merah di bibirku yang menghitam. Ku semprotkan minyak wangi
pemberiannya sebulan lalu. Setelah itu, aku ke dapur mencari sesuatu yang bisa
ku masak agar bisa ku suguhkan padanya. Sialnya yang kutemukan hanya beberapa
bungkus mie instan. Tapi aku tak peduli, suamiku pernah berkata, apapun yang ku
masak rasanya pasti enak.
Semua persiapan penyambutan kedatangan suamiku sudah
selesai. Waktu menunjukan pukul 3 sore. Aku menunggu suamiku di meja makan,
sampai aku tertidur. Aku terbangun saat sadar ruangan ini gelap. Ah mungkin
suamiku sudah datang dan sengaja mematikan lampu ingin memberiku kejutan. Ku
nyalakan lampu dan tertegun melihat tak ada seorangpun di ruangan ini kecuali
aku dan bayangan bodohku. Kulihat jam menunjukan pukul sembilan malam. Aku
kembali duduk, menunggu, lalu tertidur.
Paginya aku terbangun karena mendengar seseorang
mengetuk pintu rumah. Aku sangat antusias dan yakin bahwa kali ini suamiku
pasti telah sampai. Dengan senyum sumbringah aku berlari membuka pintu. Saat
kubuka, senyumku sirna berganti tatapan marah. Aku terkejut melihat si lelaki
modus penipu itu berdiri di depan pintu, tapi kini tak memakai seragam polisi.
Aku berlari kedalam mengambil pisau lalu kutodongkan
ke arahnya. Aku marah, teriak dan menyuruhnya segera pergi dari rumahku. Dia
mencoba menenangkanku dengan tetap menjaga jarak seakan takut akan tertusuk
pisau yang kupegang. satu kalimat darinya yang membuatku tak mampu lagi
berkutik “ Sadarlah rin, suamimu sudah tak lagi didunia kita. ia takkan pernah
kembali. Suamimu sudah tenang di alamnya.”
Aku diam. Tubuhku lunglai. Pisau yang kupegang
terjatuh kelantai, bersamaan dengan tubuhku yang tak mampu ku topang. Kakiku
lemas. Aku bangun, berlari keluar dan teriak tak percaya, tak kupedulikan meski
diluar hujan deras. Aku berlari sejauh yang kubisa, akan kucari suamiku meski
sampai keujung dunia. Jika ia tak bisa kembali ke duniaku, biar aku saja yang
pergi ke dunianya. Jika ia takkan bisa menemuiku lagi, biar aku yang
menyusulnya sesegera mungkin.
Aku berlari sejauh mungkin dan sampai dijembatan
kota. Aku berniat akan membuang hidupku dan menemui hidupku yang lain. Aku
takut bahkan hanya dengan melihat kebawah jembatan yang di isi sungai deras dan
batu besar. Tapi aku lebih takut membayangkan hidupku yang akan kujalani tanpa
suamiku. Tiba-tiba si lelaki modus itu teriak dibelakangku. Tubuhku lemas lalu
jatuh dipangkuannya. Ia memelukku erat dan berusaha menghentikan tangisku.
Kami menangis ditengah hujan, rerintik jadi saksi
cinta yang baru dalam keremukan hati yang mendalam. Kini sebulan sudah aku
merajut bahtera dengan lelaki modus itu, ia membelikan baju yang pantas, ku
kenakan dan aku berdandan yang cantik , secantik kehidupanku saat ini.